Pekan   ini dunia kembali dibuat pilu dengan terjadinya lagi pertempuran   Israel-Palestina di kota Gaza. Memang ini bukanlah kali pertama kita   menyaksikan kedua pihak berseteru, mengingat rentetan konflik   berkepanjangan di antara keduanya telah berlangsung lama dan terus   berlanjut hingga kini. Konflik ini mewarnai torehan sejarah panjang umat   manusia yang memang tidak mungkin lepas dari sejarah konflik dan   peperangan. Berbagai pihak menyebut bahwa konflik ini adalah wujud   kontestasi Islam dengan Yahudi. Sebagian lagi menyebut bahwa konflik ini   intinya perebutan teritorial, tidak ada hubungannya sentimen keagamaan.   Namun, apakah semuanya menjadi pembenar akan berkobarnya perang? Apakah   sudah tertutup jalan perdamaian sebagai jalan mulia kemanusiaan?
Sebagai   bagian dari sejarah peradaban manusia, dalam perjalanan   perkembangannya, Islam tidak luput dari dinamika konflik dan perang.   Rasulullah SAW pun selain berpredikat pemimpin spiritual dan politik   umat Islam pada masanya, tidak bisa terelakkan beliau juga merupakan   panglima perang melawan pasukan musuh dalam memperjuangkan penegakan   tauhid. Namun, di balik peperangan, sejarah juga mencatat berbagai kisah   perjanjian damai yang diinisiasi oleh Rasulullah, para sahabat dan   penerus mereka. Bukti historis tersebut dapat kita lihat dalam tiga   peace agreement bersejarah berikut ini; Piagam Madinah, Perjanjian   Hudaibiyah, dan Piagam Aelia atau Piagam Al-Quds.
Piagam Madinah
Piagam   Madinah (Al-Sahifah Al-Madinah atau Mithaq Al-Madinah) merupakan karya   monumental kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah, yang proses   kelahirannya cukup panjang dan berliku. Lahirnya piagam yang populer di   kalangan pakar sejarah dan politik sebagai konstitusi Negara Madinah   tersebut tidak lepas dari momentum hijrah Nabi dan kaum Muhajirin dari   Makkah ke Madinah pada tahun 622 M. Proses hijrah sendiri sudah   terwacanakan dua tahun sebelumnya ketika beberapa perwakilan penduduk   Madinah (saat itu bernama Yatsrib) dari suku Khazraj menemui dan dibaiat   Nabi setelah menunaikan haji. Pasca-pertemuan itu, secara terhormat   Nabi telah dinobatkan menjadi pemimpin (chief) Madinah dan diharapkan   kepemimpinannya membawa kemajuan bagi Madinah. Hubungan harmonis   tersebut terus terbina dengan menyusulnya para sahabat ke Madinah atas   rekomendasi Nabi.
http://forum.girilaya.com/t461-sejarah-piagam-madinah-perjanjian-hudaibiyah-dan-piagam-aelia#531  Setelah berhijrah, Nabi mulai membangun   peradaban Madinah dengan serangkaian langkah dan kebijakan penting.   Beliau SAW membangun masjid di tengah kota sebagai pusat peradaban, di   samping itu beliau mempersaudarakan umat Muslim Anshar dan Muhajirin,   serta satu kebijakan penting yang beliau selenggarakan yakni   memaklumatkan Piagam Madinah. Dokumen berkekuatan konstitusional yang   diprakarsai oleh Nabi ini adalah bentuk perjanjian formal antara diri   beliau sendiri sebagai representasi umat Muslim dengan seluruh penduduk   Madinah. Dokumen tersebut disusun secara rinci dan jelas. Tujuannya   untuk menghentikan perseteruan antar-bani (suku), terutama suku Aus dan   Khazraj, serta membangun persatuan seluruh warga Madinah yang sangat   plural. Secara sosiologis penduduk Madinah terbagi ke dalam 4 kelompok.   Yang pertama adalah umat Muslim Muhajirin yang berhijrah dari Makkah.   Kelompok kedua adalah Anshar yakni penduduk Muslim pribumi Madinah.   Kelompok ketiga adalah pemeluk Yahudi yang secara garis besar terdiri   atas beberapa suku; Qainuqa`, Nadhir, dan Quraizhah. Yang terakhir ialah   komunitas pemeluk tradisi nenek moyang atau penganut paganisme   (penyembah berhala).
Piagam Madinah berisi 47 pasal yang terdiri   atas mukadimah, pembahasan tentang  pembentukan umat, persatuan agama,   persatuan suku dan warga, perlindungan kelompok minoritas, tugas setiap   warga, perlindungan wilayah, serta di akhiri dengan penutup. Mengingat   substansi Piagam Madinah yang sarat akan kepentingan sosial dan politik   bagi stabilitas warga Madinah, maka tidak mengherankan jika dokumen ini   menjadi pondasi bagi keberlangsungan Negara Madinah. Terdapat empat   pokok pikiran dalam Piagam Madinah yang memenuhi syarat menjadi pondasi   atau konstitusi negara. Pertama, Piagam Madinah mempersatukan umat Islam   dalam satu ikatan persaudaraan sesama Muslim. Kedua, dokumen tersebut   menghidupkan semangat kerjasama dan hidup rukun dalam kemajemukan   (peaceful co-existence), dan saling menjamin hak sesama warga Madinah.   Ketiga, kesepakatan bersama itu mewajibkan setiap penduduk Madinah untuk   mempertahankan dan melindungi Madinah dari serangan pihak luar.   Keempat, Piagam Madinah menjamin hak persamaan dan kebebasan bagi kaum   Yahudi dan pemeluk agama lain dalam mengurus kepentingan mereka.
http://forum.girilaya.com/t461-sejarah-piagam-madinah-perjanjian-hudaibiyah-dan-piagam-aelia#531  Salah   satu yang menonjol dari inklusivitas pemikiran Rasulullah dalam Piagam   Madinah adalah dengan mengikat seluruh penduduk, utamanya kaum Muslim   dan Yahudi sebagai satu ummah yang saling menghargai kebebasan beragama.   Hal itu sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 25 Piagam Madinah yang   berbunyi "Kaum Yahudi Bani Auf bersama dengan warga yang beriman adalah   satu ummah. Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum Muslimin, bebas   memeluk agama masing-masing. Demikin pula halnya dengan sekutu dan diri   mereka sendiri. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa   dalam hal ini maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya".
Piagam   Madinah telah mengubah eksistensi penduduk Madinah dari sekedar   sekumpulan manusia dari latar suku dan agama berbeda menjadi kesatuan   masyarakat politik, yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik   wilayah Madinah. Dampak yang lebih luas dirasakan ketika Madinah menjadi   tempat melangsungkan kehidupan, membangun kerjasama dalam maslahat   serta dilandasi kesadaran sosial-independen, bebas dari pengaruh atau   kekuasaan masyarakat luar.
Perjanjian Hudaibiyah
Selain   Piagam Madinah, perjanjian damai yang juga menjadi catatan penting   sejarah adalah Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini terjadi antara Nabi   Muhammad SAW sebagai pemimpin Madinah dengan penguasa Makkah yakni   pembesar suku Quraisy sebagai suku mayoritas di Makkah, yang disebabkan   karena terhalanginya umat Muslim di Madinah yang hendak berhaji ke   Makkah oleh kaum Quraisy. Saat itu pada bulan Dzulqa'dah tahun ke-6 H,   serombongan Muslim Madinah hendak berhaji, namun mereka berhenti di   Hudaibiyah karena mendengar ada larangan dan pencegatan oleh kaum   Quraisy. Kaum Quraisy mengerahkan mata-mata untuk memastikan bahwa warga   Madinah hanya untuk berhaji, bukan untuk berperang melawan mereka.   Namun di hari yang lain, sebanyak 50 mata-mata yang dikirim justru   melempari kemah warga Muslim Madinah di Hudaibiyah. Ketegangan pun   terjadi. Untuk meredakan konflik, Usman bin Affan diutus Rasulullah   untuk berdiplomasi dengan pimpinan Quraisy. Para sahabat sempat khawatir   karena lama ditunggu Usman belum kembali ke Hudaibiyah. Mereka   beranggapan bahwa Usman telah dibunuh Quraisy tetapi kehawatiran itu   lenyap ketika Usman kembali dengan selamat di Hudaibiyah.
Dalam   perundingan, meskipun Quraisy mengakui kedatangan Muslimin ke Makkah   hanya untuk berhaji tetapi mereka tetap berupaya mempersempit ruang   gerak umat Muslim, bahkan ingin menggagalkan ibadah haji kaum Muslim   Madinah. Setelah beberapa kali negosiasi, akhirnya kedua belah pihak   sepakat untuk mengadakan perjanjian. Rasulullah sendiri hadir dalam   persitiwa tersebut meskipun menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai delegasi   mewakili umat Muslim. Sementara itu suku Quraisy mengutus Suhail bin   Amr sebagai juru rundingnya. Setelah proses diskusi dan negosiasi yang   panjang dan menegangkan, kedua pihak menyepakati perjanjian damai yang   terkenal disebut Perjanjian Hudaibiyah. Nama Hudaibiyah diambil sesuai   dengan lokasi terjadinya perjanjian. Adapun isi dari Perjanjian   Perdamian Hudaibiyah adalah sebagai berikut:
    Kedua belah pihak setuju untuk mengadakan gencatan senjata
      Barangsiapa dari kaum Quraisy yang tidak seizin walinya menyeberang   ke pihak Rasulullah, maka ia harus dikembalikan kepada mereka
    Barangsiapa dari pengikut Rasulullah menyeberang ke pihak Quraisy, ia tidak akan dikembalikan kepada Rasulullah
      Barangsiapa dari  masyarakat Arab di luar perjanjian mengadakan   persekutuan dengan Rasulullah, maka hal itu diperolehkan; dan   barangsiapa dari masyarakat Arab di luar perjanjian mengadakan   persekutuan dengan pihak Quraisy, hal itu juga diperbolehkan
    Nabi   dan kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dengan ketentuan akan   kembali ke Makkah pada tahun berikutnya dengan syarat mereka tinggal   selama tiga hari di Makkah dan senjata yang dapat mereka bawa adalah   pedang yang tersarung.
Pasca-penandatanganan perjanjian, Nabi SAW   mencium aroma kekecewaan dari sebagian sahabat atas strategi perjuangan   melalui perjanjian yang seolah menggambarkan seperti kalah sebelum   berperang. Nabi sendiri menyadari bahwa konsekuensi dari strategi   perundingan damai tersebut bisa memicu kekecewaan dan perpecahan di   kalangan umat Muslim sendiri. Di tengah situasi tersebut, turunlah   firman Allah: "Sesungguhnya telah Kami bukakan kemenangan yang nyata   kepadamu, supaya Allah akan memberi ampunan kepadamu terhadap   dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang, dan akan   menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberi petunjuk kepadamu jalan   yang lurus, dan Allah akan menolong kamu dengan pertolongan yang kuat"   (QS. Al-Fath: 1-3).
Seketika Nabi menyampikan ayat tersebut   kepada Umar bin Khattab dan para sahabat yang sedari awal belum seratus   persen menerima perjanjian tersebut. Oleh karenanya ketika mendengar   ayat tersebut, Umar bin Khattab langsung bertanya kepada Nabi, "Ya   Rasulullah, apakah perjanjian tersebut merupakan suatu kemenangan?"   Dengan tegas Nabi menjawab "Ya". Barulah kemudian Umar bin Khattab dan   para sahabat dengan legowo menerima Perjanjian Hudaibiyah sebagai   strategi jitu menjinakkan hegemoni Quraisy atas Makkah. Maka imbasnya,   setelah perjanjian berlaku, kaum Muslimin mendapat kebebasan beribadah   haji maupun umrah di Makkah yang bermakna pula pengakuan hak beragama   Islam di jazirah Arab, tanpa terjadinya peperangan. Tidak hanya itu,   perjanjian ini telah membuka akses kaum Muslim untuk mengembangkan sayap   dakwah tanpa tekanan Quraisy. Selain itu, secara politis perjanjian   tersebut menunjukkan pengakuan kaum Quraisy bahwa Nabi Muhammad ialah   pimpinan umat Muslim di Madinah.
Piagam Aelia
Piagam Aelia   mungkin saja kalah populer dengan Piagam Madinah atau Perjanjian   Hudaibiyah. Namun, seperti keduanya, piagam ini juga mempunyai peran   penting dalam menciptakan stabilitas sosial politik serta perkembangan   Islam di Aelia pada masa itu. Nama Aelia berganti menjadi Al-Quds pada   masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Kini kota ini lebih dikenal dengan   nama Jerussalem atau Al-Quds.
Persentuhan Islam dengan kota Aelia   setelah Isra Mi'raj Nabi dari Makkah ke Palestina adalah ketika   Khalifah Umar bin Khattab memasuki kota tersebut pada tahun ke-15 H   setelah sebelumnya pasukan Islam menaklukkan Romawi. Penguasa Aelia saat   itu, Patriarch Sophronius, secara khusus meminta kepada Umar bin   Khattab untuk proses serah terima kota. Ketika menerima kekuasaan Aelia   atau Al-Quds, Umar bin Khattab seketika membuat perjanjian yang dikenal   dengan Perjanjian Aelia atau disebut juga Konvensi Umar pada 20 Rabi'ul   Awal 15 H.
Isi perjanjian tersebut adalah pernyataan politis   penguasa kepada wilayah kekuasaannya dalam memberikan jaminan terhadap   penduduknya terkait tiga hal. Pertama, jaminan akan keamanan harta dan   jiwa semua penduduk Aelia. Kedua, pernyataan atas jaminan kebebasan   beragama. Ketiga, kewajiban membayar pajak. Sekilas konvensi ini   mengingatkan kita pada intisari Piagam Madinah yang memberikan jaminan   kesetaraan hak dan kewajiban bagi seluruh penduduknya. Semangat   memelihara perdamaian begitu kental ketika membaca penggalan paragraph   pertama dari konvensi ini yang berbunyi "Inilah jaminan keamanan yang   diberikan Abdullah, Umar, Amirul Mu`minin kepada penduduk Aelia: Ia   menjamin keamanan atas jiwa dan harta mereka, atas gereja-gereja dan   salib-salib mereka, dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan jaminan untuk   agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan   diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu pun   dari gereja-gereja itu, dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak   dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta mereka di dalam   gereja. Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak   seorang pun dari mereka boleh diganggu."
Piagam Madinah (Mithaq   Al-Madinah), Perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Aelia adalah beberapa   contoh Islamic peace agreement yang menjadi bukti rekam jejak historis   bahwa dakwah Islam yang tersebar ke seluruh dunia tidak identik dengan   peperangan. Hal ini menjadi bukti kuat logika normatif Islam sebagai   agama yang turun ke bumi sebagai rahmat untuk semua alam (Rahmatan lil   alamin). Demikianlah semboyan yang sekaligus menjadi misi Islam   sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: "Dan tiadalah Kami mengutusmu   (wahai Muhammad), melainkan sebagai rahmatan lil-alamin, pengasih bagi   alam semesta." (QS. Al-Anbiya`: 107). 
* Penulis ialah mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber : 
http://go.girilaya.com/d8yfe5